Ini
tentang perjuangan hidupku. Tentang perjuangan pahitku selama di Bandung. Tak
banyak yang memiliki perjuangan sosial ini sepertiku. Sejak kecil aku tak
memiliki banyak teman. Aku pendiam. Tapi sebenarnya, aku tak mau itu. Terkadang
aku pun membutuhkan teman. Eh tidak, bukan terkadang. Tapi, selamanya aku
membutuhkannya. Dan kau tahu apa yang mereka perlakukan padaku saat ku mendekati
mereka? Mereka menghindar, menjauhi dan memandangku dengan dingin.
Setelah
lulus SD, aku berharap memiliki nasibku berubah menjadi lebih baik. Memiliki
banyak teman, dan hidup damai. Tapi sayang, semua itu hanya harapan kosong.
Kehidupanku sama seperti aku yang berada di SD. Semua tak mau berteman
denganku. Aku tak mengerti, apa salahku? Mereka menjauh dariku seperti jijik
denganku. Padahal, aku tak memiliki penyakit aneh yang menular, atau pun cacat
permanen. Aku sama seperti mereka, normal. Tapi mengapa mereka begitu?
Kelas
7, ku lalui dengan penuh kesabaran. Kelas 8, sebenarnya lumayan menyenangkan.
Mereka benar-benar bisa menerima kehadiranku. Dan waktu itu, aku melayangkan
surat permohonan menjadi relawan muda di Kutai, Kalimantan. Kuharap, secepat mungkin
aku mendapatkan kesempatan itu, kesempatan yang memang selalu aku impikan.
Baik,
kelas 8 sudah berlalu. Berharap kelas 9 lebih baik dari kelas 8. Namun, yang
kudapat malah lebih buruk. Teman-teman yang selalu menjadikanku sebagai patung.
Padahal, aku sudah sering membantu mereka, tapi belum pernah aku menerima
ucapan terima kasih dari mereka. Dan orang yang paling kubenci di kelasku
adalah, Raka. Dia tuh ya, kalau diajak ngobrol gak pernah bisa baik-baik.
Dikit-dikit, nyolot. Dikit-dikit ngambek. Bilang orang rempong, padahal
sendirinya makhluk paling ribet sedunia. Jijik deh jadinya. So, aku pun sendirian di kelas. Emang,
sebenarnya di kelas itu ada 40 murid, tapi aku merasa sendiri. No Friend. Tapi aku berharap bisa
menjalani semua ini dengan tabah. Ya, tabah walau sakit.
Datanglah
murid baru. Namanya Miranda. Miranda Kirana Dewita. Awalnya aku tak
mempedulikannya. Karena menurutku dengan kehadirannya pun takkan merubah
kesendirianku. Tapi ternyata aku salah. Pertama melihatnya, cantik. Setelah perkenalan,
dia langsung duduk disampingku.
“Eh,
kamu Mitha kan? Mitha Emilya Sagita ‘kan?” tebaknya
“Iya.
Kok lo tau sih?” tanyaku bingung
“Aku
suka baca blog kamu. Habisnya blog
kamu tuh seru banget. Menghibur, membangkitkan semangat, kadang bikin terharu
juga lho. Dan aku juga liat foto-foto kamu. Makanya aku tau wajah kamu. Nggak
nyangka ya, ternyata aku bisa satu sekolah, bahkan sekelas sama Idol aku. Aku bener-bener senang !!”
serunya penuh dengan air mata bahagia.
“Lo,,
nge fans sama gue? Beneran ?” tanyaku
yang benar-benar makin bingung. Dan tak tahu mengapa dia bisa melihat blog ku begitu saja. Teman-temanku saja
belum mengetahui tentang seluk-beluk blog milikku. Mengapa dia bisa tahu?
“Iya!
Big Fan deh! Sampai sekarang pun aku
masih suka liat blog kamu. Semua
cerita kamu yang benar-benar menyentuh. Dan site
kamu tuh udah ku bookmark. Jadi gampang deh nyarinya.
Hehehe..” katanya penuh senyum. Tapi di benakku, rasanya benar-benar
mengherankan bila aku memiliki seorang penggemar, Big Fan pula. Tapi satu orang pun telah mencerah kehidupan gelapku.
Miranda
benar-benar bagaikan matahari. Menyinari hari-hariku. Sekarang ia menjadi
sahabatku. Baru pertama kalinya aku mendapatkan sahabat, apalagi yang baik
seperti dia. Tapi, aku sedikit envy juga
karena dia lebih akrab dengan teman-teman sekelasku. Pastilah. Dia cantik.
Bahkan hampir semua laki-laki di kelasku menyukainya. Ditambah dia itu pintar.
Benar-benar gadis yang sempurna. Tak seperti diriku ini. Tapi, pada saat ku
mengetahui Raka menyukai Miranda, aku ambil langkah cepat.
“Mit,
gimana ya? Raka,, nembak aku nih.” Kata Miranda malu-malu
*Brrrrrrssssttt*
aku tersedak. Air yang baru saja ku tegak keluar melalui hidungku. Kaget.
Benar-benar kaget.
“Ah..
Ah.. Perkataanku bikin kamu kaget ya?” tanya Miranda. Ia pun mengambil tisu
lalu memberikannya padaku
“Ah,,
nggak apa-apa ko. Tapi, kalau menurut gue, lo jangan terima. Dia tuh bikin
orang gondok. Ngomongnya sentak-sentak mulu. Ngeri deh. Yang ada kamu sakit
hati.” Kataku mengingatkannya sambil mengelap hidungku.
“Tapi
dia baik ko, seru lagi.” Katanya untuk meyakinkanku. Tapi aku takkan pernah
bisa mempercayai bahwa raka memiliki sifat seperti itu.
“Gue
ngingetin aja, Nda. Kalau lo emang pengen jadian sama dia, silakan. Nggak
larang.” kataku penuh ketus, lalu meninggalkan dia sendirian. Aku selalu kesal
bila orang curhat tentang Raka yang bersifat baik padahal tidak. Bukan jealous atau apa, tapi aku benar-benar
sakit hati ketika aku diperlakukan bagaikan binatang olehnya. Dasar makhluk
kejam! Tapi, sebenarnya aku merasa bersalah meninggalkan Miranda sendirian. Aku
pun berpikir untuk kembali. Tapi setelah aku berbalik, Miranda sedang bersama
Raka. Ah, sebaiknya aku tak mengganggu mereka. Walau dalam hatiku menjerit,
memanggil Miranda agar sadar dari mimpi buruknya bersama Raka. Miranda,,
kumohon sadarlah dan pergi menjauh darinya sebelum kau yang sakit hati.
“Mitha!
Kenapa sih daritadi kamu ngehindar dari aku terus?” tanya Miranda kesal.
“Gimana
sama si Raka?” tanyaku dingin.
“Aku tolak”
“Kenapa?”
“Setelah aku
pikir-pikir, kamu ada benarnya juga. Aku liat dia ngomong kasar banget. Makanya
aku gak seneng. Aku kira dia bener-bener baik. Ternyata Cuma di depan aku aja.
Uhh,, cowok ngebetein banget deh.” Keluhnya.
“Ah lu.. Kan
udah gue bilangin.”
***
Hari itu pun,
aku mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari Raka dan kawan-kawannya.
“Eh, awas deh
lu. Jangan ngalangin gue!” sentaknya sambil mendorongku jatuh.
“Raka!
Apa-apaan sih kamu? Kenapa kamu gitu sih? Apa salah Mitha?” marah Miranda pada Raka
“Eh, sorry Miranda. Dia ngalangin tuh. Dan
gue gak sengaja dorong dia.” Kata Raka dengan wajah tak berdosanya itu.
Menjijikkan!
“Nggak
sengaja? Kata kamu nggak sengaja? Segitu jelasnya aku liat kamu sengaja dorong
dia sampai jatuh. Nyadar diri donk! Ngaca tuh! Jangan sok ngejago. Aku jijik
sama kamu!” kemarahan Miranda semakin memuncak. Raka pun malu lalu menghindar
dari Miranda.
“Kamu nggak
kenapa-kenapa kan Mit? Ah,, tangan kamu,, berdarah.” kaget Miranda yang melihat
darah mengalir dari tanganku. Aku pun kaget ketika melihatnya. Tapi teman-teman
yang lain tak mempedulikan.
“Hahaha.. berdarah ya? Uhh,, kasian
banget ya. Nangis donk. Telpon mamih kamu donk.” ejek Rezky. Well,, as usually mereka tak menoleh,
malah mengejek kepadaku. So deep ‘kan?
But, semua udah biasa ku lalui penuh
lapang dada. Aku ikhlaskan semua kehidupan menjijikkan itu untuk ku lewati,
karena suatu saat nanti akupun akan mati dan takkan dipedulikan lagi.
Hari demi
hari berlalu semakin cepat. Miranda, sahabatku selalu saja bersama. Padahal ia
tak tahu bahwa aku akan pergi. Tapi pasti, cepat atau lambat aku harus
memberitahunya. Harus secepat mungkin karena waktuku untuk tinggal di Bandung
hanya sedikit. God,, aku nggak tega
ninggalin Miranda. Tapi maaf, aku udah nggak sanggup lagi tinggal disini.
Ditambah kekejaman Raka, Rezky dan kawan-kawannya. Sudah cukup mereka
menindasku. I’m sorry Miranda. Bukan
maksudku meninggalkan sahabat terbaikku.
“Kak,, ada
surat..” teriak adikku, Kiran yang mengintip pak pos dari dalam rumah. Akupun segera
berlari meninggalkan Miranda di kamar, menuju kotak surat dan segera kuambil
surat yang kutunggu-tunggu. Berharap surat itu dari lembaga yang bisa
menjadikanku relawan. Surprisingly, surat
itu benar-benar yang kutunggu. Akupun berlari kegirangan menuju kamar, tak
sabar mengabarkannya pada Miranda.
“Miranda..
Miranda.. Gue dapet suratnya !! Gue dapet izin !! Dan seminggu lagi,,”
“Mitha, kamu
mau pergi? Ninggalin aku? Kenapa kamu pergi?” potong Miranda dengan mata
berkaca-kaca.
“Mir, bukan
maksud gue,,”
“Terus?”
tanya Miranda
“Gue bisa
jelasin Mir. Surat izinnya udah gue kirim sejak kelas 8. Dan baru ada
perizinannya sekarang. Jadi gue pun terpaksa ninggalin lo. Gue minta maaf.”
Sesalku.
“Hiks..
Hiks.. Aku gak tau kenapa,, tapi aku gak bisa ngelepasin kamu, Mith. Aku maunya
kamu sama aku. Soalnya gak ada sahabat sebaik kamu.” tangis Miranda.
“Gue tau.
Seminggu lagi gue bakal pergi ke Kutai. Jadi, aku mau kamu liat keberangkatan
gue penuh kebanggaan. Bukan kesedihan. Please..”
kataku sambil memeluk Miranda. Miranda pun berkata, namun tak jelas kudengar.
Mungkin saking sedihnya. Tapi aku tak mau ia menangis seperti ini saat di
Bandara nanti.
Seminggu,,
mungkin waktu yang takkan lama. Tapi seminggu itu akan kubuat menjadi pekan
yang special bagi Miranda. Tapi tetap
saja, seminggu itu akan menjadi pekan terakhirku dalam kesedihan. Di Kutai
nanti, aku akan berusaha menjadi bahagia. Tentu saja, seminggu ini aku jarang
pulang ke rumah dengan cepat. Aku dan Miranda pergi ke taman, bermain, hangout ke Mall, sampai larut malam.
Untungnya ayah dan bunda sedang tugas di luar kota. Jadi nggak ada yang bisa
menghalangiku untuk berbuat sesukaku. Lagipula, Kiran bisa ko jaga rumah,
masak, dan nyuci piring sendiri. So, pulang
ke rumah pun aku udah dibuatin dinner
sama dia. Yeah !
Akhirnya,
waktu kebarangkatanku telah tiba. Aku diantarkan ke Kutai oleh pak Kiky,
supirku. Tak ketinggalan juga Kiran pun ikut. Sebagai anggota keluarga dan
sebagai sister dia juga harus
menemaniku sampai pesawatnya datang. OK !
Sampai juga di Bandara Husein Sastranegara. Dan aku terkejut, ternyata Miranda
dan teman-teman sekelasku datang. Padahal, aku nggak menyuruh mereka untuk
datang. Apalagi melihat Raka dan Rezky datang. Wow,, rasanya something banget mereka datang setelah
mereka membuatku sakit hati, dan luka di siku tentunya.
“Mitha,,
mereka datang buat kamu. Nganterin kepergian kamu. Kamu seneng kan?” kata
Miranda sambil tersenyum. Aku hanya tersenyum secara terpaksa, nggak tulus.
“Mith,,
maafin kita semua ya. Kita nggak ada maksud buat diemin kamu di sekolah. Lagian
kita kan udah 2 tahun lebih bersama. Bukannya kita nggak nyadar sama
kehadiranmu. Cuma,,” kata Rezky.
“Ah,
pesawatnya udah ada tuh. Kiran, hati-hati ya di rumah. Katanya besok Kak Eryc
bakal ke rumah jagain kamu. Selalu sehat ya.” sambil kucium kening Kiran
tersayang.
“Miranda,
maafin gue ya. Gue gak bermaksud jahat ninggalin kamu. Tapi ini udah keputusan
gue. Sorry, don’t misunderstand,”
kataku smabil memeluknya dengan erat. Akupun pergi meninggalkan mereka semua.
Meski ku tahu, Rezky ingin berkata sesuatu padaku. Tapi aku tak peduli, aku
sudah tak ingin melihatnya lagi. Aku tak mengucapkan sepatah katapun pada
teman-teman sekolahku. Biar mereka rasakan bahwa akupun tersakiti saat mereka
tak mengacuhkanku.
“Mitha..
Dengerin kata-kata gue dulu donk !!” teriak Rezky. Aku hanya menoleh sebentar,
sepertinya ia menangis. Tapi siapa peduli, aku terus berjalan. Dan ternyata
bukan hanya Rezky yang menangis, teman-teman yang lain pun menangis. Ah,, dasar
saja mereka. Giliran aku ada di dekatnya, mereka tak mengacuhkanku. Saatku
sudah pergi, mereka baru menyadari bahwa aku ada. Asal kau tahu saja,
penderitaanku lebih berat dari mereka yang menangis itu.
Tapi, sekarang sudah berbeda. Aku
hidup tenang disini. Bersama kawan-kawan seprofesiku. Sahabat baru, keluarga
baru. Benar-benar nyaman. Tapi tak pernah kulupa sahabatku yang selalu
menguatkanku. Miranda, orang yang membuatku kuat saat ku lemah. Terima kasih,
sahabatku. Maaf karena ku harus meninggalkanmu.
No comments:
Post a Comment